Arsitektur Jengki adalah gaya arsitektur asli Indonesia yang berkembang pada 1950 hingga 1960-an. Gaya ini muncul ketika arsitek Belanda meninggalkan Indonesia pascakemerdekaan. Arsitektur Jengki berusaha menghilangkan unsur kolonial dan menegaskan identitas modern bangsa. Banyak bangunan bergaya Jengki dimiliki oleh dinas, pejabat, dan tentara pada masa itu.
Ada beberapa ciri khas yang membedakan gaya arsitektur Jengki dengan arsitektur Indonesia lainnya, yaitu:
Ciri khas arsitektur Jengki dapat dikenali dari bentuk atap yang tidak simetris. Atap memiliki kemiringan lebih dari 35 derajat dan lubang angin untuk ventilasi. Dinding rumah sering kali berbentuk segi lima dan terbuat dari batu alam tidak rata. Teras rumah pada bangunan Jengki juga cenderung luas dan terbuka.
Jendela pada rumah jengki umumnya berukuran besar dan memiliki bentuk yang unik, seperti trapesium atau segi lima. Desain ini tidak hanya memberikan tampilan yang khas, tetapi juga memiliki fungsi penting dalam memaksimalkan pencahayaan alami di dalam rumah.
Detail ornamen pada arsitektur ini seringkali unik dan khas, mencerminkan semangat zaman dan keinginan untuk menciptakan identitas arsitektur yang baru. Beberapa contoh detail ornamen yang umum ditemukan pada rumah jengki antara lain relief pada dinding yang menggambarkan motif-motif tradisional atau simbol-simbol kemerdekaan, ukiran pada kayu yang menghiasi pintu, jendela, atau bagian-bagian lain rumah, serta penggunaan material-material alami seperti batu alam atau bata ekspos yang memberikan tekstur dan karakter pada bangunan.
Meskipun kepopulerannya menurun setelah 1960-an, arsitektur ini tetap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Gaya ini menjadi bagian penting dalam perkembangan arsitektur modern Indonesia. Saat ini, banyak sejarawan dan arsitek mulai memberikan perhatian lebih pada pelestarian bangunan Jengki. Upaya ini bertujuan untuk menjaga warisan budaya agar tetap dikenal oleh generasi mendatang.